Sabtu, 22 Maret 2008

Dua Kenalan Baru

Libur Paskah tahun ini, Vima pelesir bareng rombongan karyawan ibuku ke Magelang dan Bandungan. Naik kuda, nyemplung ke kali, treking menyusuri sungai dan mendaki bukit (Vima kugendong di sebagian besar perjalanan, tentunya) sambil memetiki bunga-bunga liar. Pokoknya puas banget deh menjelajah alam!


Nah, di tempat penginapan, waktu jalan-jalan pagi, kami melihat ada seekor serangga besar (sekitar 2-3 cm) berwarna cokelat, berbadan keras, sedang merayap di tanah. Kuajak dia dan beberapa anak lain berjongkok mengamati dan kukenalkan pada mereka nama serangga itu: WANGWUNG. [Sayang, kami tidak bawa kamera dan hapeku yang kuno itu juga tidak berkamera. Aku pinjam hape ibuku untuk memotret, ternyata hasilnya tidak tajam. Jadi kupinjam foto dari arsip imaji google ini saja ya ... Kucari dengan kata kunci nama Latinnya: Oryctes rhinoceros.]



Selain wangwung, Vima juga baru tahu yang namanya burung MERAK. Rupanya memang berjodoh, baik di Magelang maupun Bandungan ternyata ada merak. Berhubung merak-merak itu ada di balik kerangkeng, Vima cuma bisa mengamati dari luar. Tapi di pertemuan kedua, Vima tidak butuh waktu lama untuk mengenali 'kawan' barunya ini. Ia pun lantas menuding-nuding, "Me'ak ... me'ak ..."

Rabu, 19 Maret 2008

Belajar Mandiri Ya, Vim ...

Pendidikan, kata Charlotte Mason, semestinya lebih dari sekedar menumpukkan sejumlah ilmu ke pikiran anak. Lebih dari itu, pendidikan haruslah mencegah secara terencana kemungkinan berkembangnya cacat dalam karakter anak. Inilah yang dimaksud CM dengan semboyan: Education is a discipline.

Dibesarkan dalam tipikal keluarga kelas menengah di Indonesia yang berpembantu, aku tidak ingin Vima mengulangi "cacat" karakterku. Semasa kecil, praktis aku selalu dilayani (ada mbak gitu loh ...) dan tidak pernah menggarap kerjaan rumah alias chores macam nyapu, ngepel, cuci piring, cuci baju, nyetrika, dsb. -- kecuali waktu si mbak mudik selama Lebaran. Baru setelah ngekos di luar kota saat kuliah, aku belajar seratus persen mandiri. Tapi sampai saat ini, harus kuakui, aku tetap saja kurang terampil soal chores ini, terutama dalam hal masak-memasak. Ini kekuranganku, dan aku mau Vima lebih baik daripada aku.

Maka, sedari dini aku upayakan supaya Vima mandiri. Apa saja yang bisa dia kerjakan, aku dorong dia melakukannya sendiri, sebisa dia. Mencopot baju, merapikan mainan, melepas sepatu lantas menatanya di tempat semula, mengelap meja makan kecilnya, dll. Aku juga mengajak dia mengambil bagian dalam tugas-tugas rumah tangga, sekecil apa pun. Misalnya: duduk menemani saat aku mencuci baju (asalkan dia tenang saja sudah cukup bagiku, karena itu berarti aku bisa konsentrasi ke cucian ;-p) atau ikut menurun-nurunkan bantal dan guling waktu aku mau bersihkan kasur setiap pagi.



Beberapa bulan terakhir ini, ia mulai terampil makan sendiri dan mulai bisa minum dari gelas. Seminggu belakangan ia malah bisa memegang gelas sendiri waktu minum. Siiiip ... lah!! :)
Nyem-nyem, gluk-gluk ...
nyem-nyem
[Buat yang mbatin kenapa meja makan Vima kok kotor banget, ini lho sebabnya: begitu acara makan dimulai dan dia didudukkan di kursi istimewanya itu, langsung dia bilang, "Tulis tulis!" Lantas corat-coret pastel pun terjadilah. Meja makan pun jadi serasa whiteboard. Harap maklum adanya ;-p ...]




Minggu, 16 Maret 2008

Ada Handel di Sini

Unsur penting lain dalam kurikulum Ambleside Online yang kuikuti adalah apresiasi musik klasik. Dipandu oleh agenda buatan "para senior", anak-anak dalam komunitas kami melakukan studi komposer bersama-sama (sementara para ortu berupaya mendukung lewat diskusi online). Triwulan Januari-Maret ini adalah giliran untuk mendengarkan karya-karya George Friederic Handel (1685-1759).

Porsi waktu terbesar (4 minggu penuh) dihabiskan untuk menikmati oratorio Handel yang berjudul Messiah. Diciptakan musim panas 1741 dan dikonserkan pertama kali di Dublin 13 April 1742, Messiah adalah karya Handel yang paling terkenal, khususnya dalam khasanah paduan suara Barat klasik. [Trims buat seorang teman di milis AO, aku berhasil mengunduh utuh Messiah, lengkap bersama teks liriknya dari awal sampai akhir. GRATISSS! :) Terus terang, walaupun dulu aku lama belajar musik klasik, baru kali ini aku mendengar Messiah yang lengkap, mulai dari Sinfonia sampai Haleluya.]

Maka, Handel pun hadir di sini, menemani Vima waktu makan, panjat-panjat, gambar-gambar ... (Heran, dia bisa juga goyang-goyang badan ngikutin suara tenoris, padahal teknik vokal dan musiknya sama sekali tidak easy listening gitu ... ;-p)

Rabu, 12 Maret 2008

Kisah Sukses Keluarga Bergthold

Jim dan Jane Bergthold menyekolahrumahkan keenam anak lelakinya: Caleb (16), Trent & Zachary (14), Matthew & Troy (13), dan Levi (9) dengan metode CM.

Hari-hari sekolah mereka dimulai dengan membaca Alkitab di pagi hari. Anak-anak itu betah belajar sampai malam. Pusat belajar mereka adalah perpustakaan di lantai bawah, yang penuh dengan novel-novel klasik. Mereka mengaku tidak menyesal tidak pernah mencicipi bangku sekolah formal. Toh, semua bahan pelajaran di sekolah juga mereka kuasai. Bahkan, kata Jane, setiap menjalani tes tahunan dari Departemen Pendidikan Oregon, anak-anaknya selalu mencetak skor melampaui tingkat usianya. Seringkali 2-3 tahun lebih maju dari seharusnya. Bahkan Caleb, yang sudah jadi mahasiswa Portland State University, selalu mendapat IPK 4.0

Seperti layaknya keluarga HS, The Bergtholds ini pun mengalami jatuh bangun pada awal memulai sekolah rumah mereka. "Saat menemukan Charlotte Mason di internet, hatiku melompat ... ternyata ada toh sistem seperti ini!" kenang Jane.

Anak-anak Bergthold jarang nonton TV (hihihi ... sama dong dengan Vima!). Dan - ini yang paling penting - mereka selalu berusaha melakukan yang terbaik bukan untuk bangga-banggaan, tapi karena pengabdian. "Ma, kami melakukan ini untukmu!" kata Levi. (Hiks ... mengharukan sekali ...)

Jane bilang, kurikulum CM adalah kunci menuju sukses. "Kurikulum ini sangat menekankan pembangunan karakter dan menanamkan kebiasaan baik lewat konsistensi saat anak-anak masih kecil - dan saya percaya itu sebabnya cowok-cowokku itu bisa bertanggung jawab mendidik diri sendiri sekarang ini."

Yup, Jane, kisah keluargamu membuat tekad hatiku lebih mantap lagi untuk menyongsong sukses bagi Vima ...




Selasa, 11 Maret 2008

Ini Bunglon, Nak!

Aku suka sedih kalau melihat anak-anak yang dilarang ini-itu oleh ortu mereka, khususnya dalam hal menjelajah dan bereksplorasi di alam. Pernah suatu kali, Vima pergi ke Bukit Cinta, suatu taman rekreasi dengan danau yang indah di pinggir Rawa Pening. Seusai naik perahu berkeliling, Vima kuajak menyusuri pematang sawah kecil di tepi danau untuk mengamati capung-capung merah. Ada anak lain yang mengikuti kami, tetapi ayahnya buru-buru memanggil dan melarangnya - di situ kotor, begitu yang kudengar.

Vima sendiri sejak bayi tipe anak hati-hati. Bukan model sangat pemberani yang cak-cek memegang benda asing tanpa ragu-ragu. Tapi aku ingat pesan CM, "Asalkan ortu tidak mengajari anak untuk takut, mereka akan selalu bergairah dengan semua kehidupan di alam ini." Jadi, aku tetap mendorong Vima untuk lebih dekat mengamati berbagai makhluk hidup yang kami temui.

Beberapa bulan lalu, aku sudah mengenalkan Vima pada tokek. Tokek besar bertotol-totol biru itu ditangkap di rumah ibuku. Aku lantas membawanya pulang untuk Vima dalam sebuah perangkap tikus. Setelah Vima puas mengamati beberapa saat, tokek itu kulepas di dak jemuran atap rumah kami.

Hari Sabtu sore kemarin, ada lagi makhluk asing yang bertamu di rumah kami. Bunglon! Tampaknya ia kesasar entah dari mana, mendarat di depan kamar mandi. Aku berhasil menangkapnya dan lagi-lagi kukandangkan di perangkap tikus yang sama dengan si tokek dulu.

Minggu pagi, kami melepasnya di halaman depan rumah. (Terima kasih untuk Tante Keu yang bersusah payah memindah binatang yang dengan panik meloncat-loncat dan mencengkeram erat jeruji perangkap ketika ditarik keluar itu - dan memfotonya untuk Vima!)



Vima melambai-lambaikan tangan, "Da-dah .. buong!"


Bunglon itu tampak lega, bukan? :)








Puisi Pendek untuk Vima

Waktu CM bilang, anak terlahir dengan kecenderungan untuk mencintai keindahan bahasa sastrawi, aku langsung mengangguk-angguk percaya. Soalnya, aku sendiri - walau semasa kecil tidak dapat privilese untuk akrab dengan puisi - sering tergetar oleh puisi. Dus, kurikulum yang 'mewajibkan' apresiasi puisi, seperti kurikulum CM, akan kukomentari kereeeee...eeen! Dan aku percaya Vima akan tumbuh lebih indah bersama puisi.

Maka dua hari yang lalu, secara spontan aku coba bikin puisi pendek untuk Vima. Hanya empat baris dan kata-katanya pun tidak istimewa (malah agak klise, rasanya ;-p). Begini isinya:




BULAN, BINTANG, MATAHARIKU

Bulan terangku
Bintang kecilku
Matahari pagiku

V-i-m-a-l-a






Tak dinyana, respon Vima sangat hangat. Waktu pertama kali kulantunkan, ia langsung terdiam, menghentikan acara bermainnya. Memandangku dengan mata berbinar, bibirnya langsung tersenyum lebar - dengan ekspresi sedikit tersipu - waktu aku sampai di baris terakhir: menyebutkan namanya.

"Lagi!" serunya, maka aku pun bersajak sekali lagi.

Begitu aku selesai, ia kembali meminta, "Lagi!"
Aku bertanya, "Lagi apa?"
Ia menjawab, "Ku ... ku ... ku!"

Perasaanku? Betul-betul luar biasa!
Dan aku pun melafazkan puisi yang sama berkali-kali lagi sampai hari ini.

Sabtu, 08 Maret 2008

CM di Youtube

Malam ini iseng-iseng aku mampir ke youtube dan mengetikkan "charlotte mason" di kotak pencari. Lantas keluarlah di antaranya video berjudul Sunny Nature Study ini. Isinya kumpulan foto kegiatan penjelajahan alam anak-anak satu keluarga CMer yang dibubuhi kutipan-kutipan tulisan CM tentang manfaat nature study. Aku menikmatinya, jadi kubagikan di sini :)

Selasa, 04 Maret 2008

Buang Sampah pada Tempatnya


Salah satu kebiasaan yang aku ingin tertanam pada diri Vima adalah membuang sampah pada tempatnya. Seperti petunjuk CM, aku selalu berusaha konsisten pada aturan ini, baik bagi diriku sendiri maupun bagi Vima. Jadi, praktis Vima selalu melakukannya. Aku tidak ingat ada satu kali pun dia mencoba membuang sampah di lantai atau di jalan.

Aku kadang bertanya, apakah kebiasaan membuang sampah itu benar-benar telah melekat pada karakternya, atau hanya dilakukan karena kuawasi saja?

Sore kemarin aku memperoleh jawaban. Kami sedang bermain dengan beberapa anak tetangga. Menjelang maghrib, kami pamit pulang. Saat itu ada salah seorang anak yang usianya satu bulan lebih muda dari Vima melemparkan krupuk yang dari tadi digenggamnya.

Vima tiba-tiba berhenti berjalan. Aku pun ikut terhenti dan memandanginya, ingin tahu reaksinya. Vima diam memandangi krupuk yang tergeletak di jalan itu. Instingku bicara dan aku bertanya padanya: "Buang sampah, Vim?" Dengan segera Vima memungut krupuk itu lantas, dengan bantuanku, ia membuangnya di tempat sampah.

Semua terjadi begitu cepat. Tiga orang tetangga yang ikut menyaksikan pun agak melongo, lantas berkomentar: "Aduh, pintarnya!"

Di hatiku tentu saja terbersit rasa bangga.

Tapi ada perasaan lain yang lebih daripada itu. Aku merasa SANGAT GEMBIRA. Satu kebiasaan baik telah tertanam, dengan bukti yang nyata.