Selasa, 22 April 2008

Komposer Term Ini

Bulan April-Juni, kurikulum musik klasik pilihan AO adalah karya-karya dua komponis Perancis: Symphony No. 3 (Organ Symphony), Danse Macabre, dan Le Carnaval des Animaux dari Saint-Saëns plus Symphonie Fantastique, Dance of the Sylphs, dan Rakoczy March (Damnation of Faust) dari Berlioz.

Kubaca dari wikipedia, Charles Camille Saint-Saëns (1835-1921) adalah tipikal jenius. Sudah bisa menyanyi dengan nada tepat di usia 2 tahun, baca-tulis di usia 3 tahun, membuat komposisi piano di usia 4 tahun, resital piano pertama di usia 5 tahun, dan menguasai bahasa Latin di usia 7 tahun! Lebih wow lagi, waktu mengadakan konser piano tunggal di usia 10 tahun, di penghujung acara dia menawarkan pada hadirin untuk memilih salah satu dari 32 sonata Beethoven sebagai lagu tambahan - dia sudah hafal semua partiturnya di luar kepala!!! Aku jadi turut bangga walau sekedar jadi pendengar karyanya saja ... hehehe ...

Kebalikan dari Saint-Saëns, Louis Hector Berlioz (1803-1869) sama sekali tidak jenius. Ia baru belajar main musik umur 12 tahun dan tidak pernah belajar piano, biangnya alat musik klasik. Tadinya ia mau sekolah kedokteran, tapi malah jatuh cinta pada musik, maka ia pun banting setir sekalipun tanpa restu orangtua. Banyak banget pengalaman pahit yang harus ia lewati sepanjang karirnya: mulai dari diusir dari perpustakaan musik karena dianggap bukan mahasiswa musik, ditolak oleh gadis pujaan, karya-karyanya dicampakkan, sampai ditinggalkan oleh tunangannya yang pilih menikah dengan usahawan kaya. Tapi melewati semua cobaan hidup itu, Berlioz yang tegar akhirnya betul-betul sukses baik sebagai komponis, konduktor, maupun penulis. Dia disebut sebagai salah satu dari The Trinity of Progress di dunia musik era Romantisisme abad ke-19. Dan ia juga punya banyak teman baik yang setia menungguinya kala ia menjelang ajal. His is really some character!

Senin, 21 April 2008

Jadi Anak Bilingual


Pada mulanya adalah posting dari Tamara di milis AO, bercerita tentang cara dia mengkondisikan anak-anaknya berdwibahasa (Inggris dan Jerman). Intinya, dia mencoba memakai bahasa Jerman sebisa-bisanya supaya mereka juga “tenggelam” ke dalam bahasa Jerman. Dalam perspektif CM, cara terbaik supaya anak mahir berbahasa asing memang lewat immersion (menjadikan bahasa asing sasaran sebagai sesuatu yang “hidup” lewat percakapan dan bacaan sehari-hari).

Aku serta-merta tertarik dengan topik ini. Terus terang, aku butuh Vima bisa berbahasa Inggris, supaya kelak dia bisa baca langsung buku-buku dalam kurikulum AO tanpa harus kuterjemahkan. Lantas aku pun mengajukan pertanyaan: apakah imersi juga cara yang cocok untuk anak sekecil Vima? Tidakkah berdwibahasa akan membuatnya bingung (karena sekarang Vima sudah mulai lancar berpikir dan bicara Bahasa Indonesia)?

Ternyata banyak juga anggota milis yang menanggapi pertanyaanku. Tamara bahkan menyempatkan diri kirim imel via japri. Mereka semua menyemangatiku supaya langsung mempraktekkan bilingualisme tanpa tunda waktu lagi. Mumpung Vima baru 20 bulan, bilang mereka. Lebih gampang menjadikan Vima bilingual sekarang ini daripada menunggu sampai dia nanti 3 atau 6 tahun. Apalagi, kesan mereka, bahasa Inggrisku *baik sekali* (ehm, ehm ... ;-p). “I wish my German is that fluent,” gitu komen Tamara, lantas dia ngomong, ”kalau aku jadi kamu, aku ga akan ragu untuk ber-Inggris-ria terus dengan Vima.”

Teman lain, Kathy, kasih saran begini: dari pengamatannya, keluarga-keluarga yang sukses berbilingual umumnya punya tempat dan waktu spesifik untuk tiap bahasa. Spanyol di rumah, Inggris di luar rumah, misalnya. Atau Belanda di rumah nenek, Inggris di sekolah, Perancis di rumah, Jerman tiap hari Rabu, dsb.

Terus ada lagi Lorraine yang menambahi advis supaya aku juga sekalian mengajarkan bahasa isyarat (sign language). Katanya, para ilmuwan mendapati bahwa bagian otak yang dipakai untuk bahasa isyarat dan bahasa lisan itu sama, jadi mengurangi tingkat kesulitan belajar anak. Hmmm ... aku sih percaya aja, soalnya temanku yang satu ini memang ngerti banget soal serba-serbi otak.

Alhasil, jadilah mulai Kamis lalu Vima resmi jadi anak bilingual. Prinsipnya aku yang akan selalu berbahasa Inggris dengan dia, baik di rumah maupun di luar rumah. Dengan catatan: kalau ada pihak ketiga yang asing (tetangga atau kerabat jauh), aku kembali berbahasa Indonesia. Soalnya, terus terang, males juga kalau dianggap snob ...

Oh ya, aku juga mengikuti saran Lorraine. Kuajari Vima beberapa bahasa isyarat versi Amerika (American Sign Language) secara informal sembari aku membacakan buku cerita untuknya. Kenapa ASL? Pertama, karena pemakainya lebih banyak dan mendunia. Kedua, karena ada situs yang ngajari ASL gratis lengkap dengan video tutorialnya :)

Rabu, 16 April 2008

Ada Kamu di Mataku

Anak-anak itu memang luar biasa, ya? Daya observasi mereka tajam sekali. Hal-hal kecil yang luput dari perhatian orang dewasa pun mereka perhatikan. Vima juga begitu. Dia sering sekali lebih dulu tahu tentang sesuatu di sekitarnya yang terlewat dari perhatian orang dewasa, mulai dari cicak lewat sampai butiran makanan ikan yang jatuh. (Aku tidak bisa memastikan apakah daya amatnya yang kuat itu juga terpupuk karena No TV policy kami, tapi sejauh ini aku merasa puas dengan perkembangan habit of attention Vima).

Hari Minggu yang lalu, daya amat Vima membuatnya menemukan sebuah fakta menarik. Dia dan aku sedang bermain-main di teras. Waktu itu sudah lewat tengah hari. Mentari bersinar di samping kepalaku yang sedang duduk bersandar di tembok.

Tiba-tiba Vima menatap wajahku dengan sangat berminat. Kepalanya meneleng ke kiri dan ke kanan seperti ingin memastikan sesuatu. Lantas ia bilang, "Lepas, lepas!" sambil menunjuk ke kacamataku. Aku masih belum paham apa maksudnya, tapi aku menurut saja. Kulepas kacamata dan ia lantas mengamati lagi wajahku sampai akhirnya ia berseru, "Mima ada! Mima ada!" Dengan menafsirkan gesturnya, baru deh aku dhong ternyata Vima melihat bayangan dirinya di dalam bola mataku!

Wuihhh ... terus terang aku merasa terperanjat campur kagum. Vima lagi-lagi melakukan self-discovery, menemukan sesuatu tanpa aku ajarkan (karena aku memang tak pernah terpikir untuk memberitahukan itu kepadanya).

Ingus Rasa Anggur

Pada fase kanak-kanak, khususnya pra-sekolah, CM bilang anak belajar lewat indera-inderanya. Dus, waktu suatu kali aku mau kasih tahu ke Vima kalau garam itu asin dan gula itu manis, aku biarkan dia mencicipi keduanya. Yah ... sedikit-sedikit saja. Dan ternyata dari pencerapan indera kecap itu Vima jadi punya kesan kuat tentang rasa asin dan rasa manis.

Yang lucu, minggu lalu kan dia pilek. Dia suka colek ingusnya sendiri lalu menjilatnya. Jijik sih, tapi bikin kami serumah ketawa. "Apa rasanya? Asin ya?" tanyaku. "Iya, asin!" jawabnya. Tapi kadang dia jawab sesukanya juga. Kali lain, waktu ditanya lagi, "Kok jilat ingus terus? Apa enak? Rasa apa sih?" Dia jawab dengan pe-de banget, "Rasa anggur!"