Pada mulanya adalah posting dari Tamara di milis AO, bercerita tentang cara dia mengkondisikan anak-anaknya berdwibahasa (Inggris dan Jerman). Intinya, dia mencoba memakai bahasa Jerman sebisa-bisanya supaya mereka juga “tenggelam” ke dalam bahasa Jerman. Dalam perspektif CM, cara terbaik supaya anak mahir berbahasa asing memang lewat immersion (menjadikan bahasa asing sasaran sebagai sesuatu yang “hidup” lewat percakapan dan bacaan sehari-hari).
Aku serta-merta tertarik dengan topik ini. Terus terang, aku butuh Vima bisa berbahasa Inggris, supaya kelak dia bisa baca langsung buku-buku dalam kurikulum AO tanpa harus kuterjemahkan. Lantas aku pun mengajukan pertanyaan: apakah imersi juga cara yang cocok untuk anak sekecil Vima? Tidakkah berdwibahasa akan membuatnya bingung (karena sekarang Vima sudah mulai lancar berpikir dan bicara Bahasa Indonesia)?
Ternyata banyak juga anggota milis yang menanggapi pertanyaanku. Tamara bahkan menyempatkan diri kirim imel via japri. Mereka semua menyemangatiku supaya langsung mempraktekkan bilingualisme tanpa tunda waktu lagi. Mumpung Vima baru 20 bulan, bilang mereka. Lebih gampang menjadikan Vima bilingual sekarang ini daripada menunggu sampai dia nanti 3 atau 6 tahun. Apalagi, kesan mereka, bahasa Inggrisku *baik sekali* (ehm, ehm ... ;-p). “I wish my German is that fluent,” gitu komen Tamara, lantas dia ngomong, ”kalau aku jadi kamu, aku ga akan ragu untuk ber-Inggris-ria terus dengan Vima.”
Teman lain, Kathy, kasih saran begini: dari pengamatannya, keluarga-keluarga yang sukses berbilingual umumnya punya tempat dan waktu spesifik untuk tiap bahasa. Spanyol di rumah, Inggris di luar rumah, misalnya. Atau Belanda di rumah nenek, Inggris di sekolah, Perancis di rumah, Jerman tiap hari Rabu, dsb.
Terus ada lagi Lorraine yang menambahi advis supaya aku juga sekalian mengajarkan bahasa isyarat (sign language). Katanya, para ilmuwan mendapati bahwa bagian otak yang dipakai untuk bahasa isyarat dan bahasa lisan itu sama, jadi mengurangi tingkat kesulitan belajar anak. Hmmm ... aku sih percaya aja, soalnya temanku yang satu ini memang ngerti banget soal serba-serbi otak.
Alhasil, jadilah mulai Kamis lalu Vima resmi jadi anak bilingual. Prinsipnya aku yang akan selalu berbahasa Inggris dengan dia, baik di rumah maupun di luar rumah. Dengan catatan: kalau ada pihak ketiga yang asing (tetangga atau kerabat jauh), aku kembali berbahasa Indonesia. Soalnya, terus terang, males juga kalau dianggap snob ...
Oh ya, aku juga mengikuti saran Lorraine. Kuajari Vima beberapa bahasa isyarat versi Amerika (American Sign Language) secara informal sembari aku membacakan buku cerita untuknya. Kenapa ASL? Pertama, karena pemakainya lebih banyak dan mendunia. Kedua, karena ada situs yang ngajari ASL gratis lengkap dengan video tutorialnya :)
Aku serta-merta tertarik dengan topik ini. Terus terang, aku butuh Vima bisa berbahasa Inggris, supaya kelak dia bisa baca langsung buku-buku dalam kurikulum AO tanpa harus kuterjemahkan. Lantas aku pun mengajukan pertanyaan: apakah imersi juga cara yang cocok untuk anak sekecil Vima? Tidakkah berdwibahasa akan membuatnya bingung (karena sekarang Vima sudah mulai lancar berpikir dan bicara Bahasa Indonesia)?
Ternyata banyak juga anggota milis yang menanggapi pertanyaanku. Tamara bahkan menyempatkan diri kirim imel via japri. Mereka semua menyemangatiku supaya langsung mempraktekkan bilingualisme tanpa tunda waktu lagi. Mumpung Vima baru 20 bulan, bilang mereka. Lebih gampang menjadikan Vima bilingual sekarang ini daripada menunggu sampai dia nanti 3 atau 6 tahun. Apalagi, kesan mereka, bahasa Inggrisku *baik sekali* (ehm, ehm ... ;-p). “I wish my German is that fluent,” gitu komen Tamara, lantas dia ngomong, ”kalau aku jadi kamu, aku ga akan ragu untuk ber-Inggris-ria terus dengan Vima.”
Teman lain, Kathy, kasih saran begini: dari pengamatannya, keluarga-keluarga yang sukses berbilingual umumnya punya tempat dan waktu spesifik untuk tiap bahasa. Spanyol di rumah, Inggris di luar rumah, misalnya. Atau Belanda di rumah nenek, Inggris di sekolah, Perancis di rumah, Jerman tiap hari Rabu, dsb.
Terus ada lagi Lorraine yang menambahi advis supaya aku juga sekalian mengajarkan bahasa isyarat (sign language). Katanya, para ilmuwan mendapati bahwa bagian otak yang dipakai untuk bahasa isyarat dan bahasa lisan itu sama, jadi mengurangi tingkat kesulitan belajar anak. Hmmm ... aku sih percaya aja, soalnya temanku yang satu ini memang ngerti banget soal serba-serbi otak.
Alhasil, jadilah mulai Kamis lalu Vima resmi jadi anak bilingual. Prinsipnya aku yang akan selalu berbahasa Inggris dengan dia, baik di rumah maupun di luar rumah. Dengan catatan: kalau ada pihak ketiga yang asing (tetangga atau kerabat jauh), aku kembali berbahasa Indonesia. Soalnya, terus terang, males juga kalau dianggap snob ...
Oh ya, aku juga mengikuti saran Lorraine. Kuajari Vima beberapa bahasa isyarat versi Amerika (American Sign Language) secara informal sembari aku membacakan buku cerita untuknya. Kenapa ASL? Pertama, karena pemakainya lebih banyak dan mendunia. Kedua, karena ada situs yang ngajari ASL gratis lengkap dengan video tutorialnya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar